Diplomasi melalui Makanan

Diplomasi? Makanan? Gimana bisa nyambungnya ya? Mungkin itu yang ada di pikiran kalian pas baca headline ini. 

Secara umum kita tau kalau diplomasi itu hubungan formal antara perwakilan negara dengan negara lainnya melalui kedutaan ataupun konferensi. Tapi sekarang diplomasi udah berkembang dan menggunakan makanan sebagai media perantaranya loh. Diplomasi dengan makanan ini akrab dikenal dengan culinary diplomacy dan gastrodiplomacy.

Culinary diplomacy dan gastrodiplomacy mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai media pertukaran kultur di dunia. Menurut Joseph Nye, kultur itu aspek dari soft power. Soft power adalah cara untuk menarik dan membuat pihak lain menginginkan apa yang kita inginkan juga. Dengan kata lain, melalui makanan sebuah negara dapat bersepakat dalam suatu hal yang diinginkan oleh negara lain. Culinary diplomacy dan gastrodiplomacy yang dilakukan oleh beberapa negara sekarang lebih condong kepada memperkenalkan budaya mereka secara global. Mungkin di masa yang akan datang, kesepakatan dalam diplomasi dapat tercipta melalui makanan.

Namun, culinary diplomacy dan gastrodiplomacy punya beberapa perbedaan

a. Culinary diplomacy menyajikan makanan yang “high class” sedangkan gastrodiplomacy menyajikan makanan kaki lima (street food)

b. Culinary diplomacy diwakili oleh kalangan elit sedangkan gastrodiplomacy oleh masyarakat dalam kehidupan sehari

c. Gastrodiplomacy lebih “ngena” dalam kehidupan sehari-hari dibanding culinary diplomacy

Contoh diplomasi melalui makanan udah ada loh di Indonesia! Buktinya adalah rendang yang telah mendunia dengan dinobatkan sebagai makanan terenak nomor satu di dunia. Harapannya gak cuma rendang yang terkenal, tapi kultur Indonesia lainnya juga bisa menyusul. Ada pepatah yang bilang “Cinta datang dari perut” mungkin kedepannya kesepakatan diplomasi datang dari perut, who knows.